bola24.id – Piala Dunia, sebagai ajang sepak bola terbesar di dunia, selalu menjadi magnet perhatian bagi miliaran pasang mata di seluruh dunia. Kompetisi ini tidak hanya menampilkan aksi-aksi sepak bola kelas dunia, tetapi juga mempertemukan budaya, semangat sportivitas, dan gengsi antarnegara.
Piala Dunia 2026 yang akan diselenggarakan di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko memiliki daya tarik tersendiri karena akan menjadi edisi pertama yang diikuti oleh 48 negara, lebih banyak dibandingkan edisi-edisi sebelumnya.
Di tengah perluasan slot ini, muncul optimisme dari negara-negara yang sebelumnya nyaris mustahil untuk lolos, termasuk Indonesia. Bagi sebagian kalangan, wacana Indonesia lolos ke Piala Dunia adalah mimpi yang sangat dinantikan.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa keikutsertaan Indonesia justru akan membuat Piala Dunia kehilangan sebagian daya tariknya.
Tulisan ini akan mengupas secara mendalam mengapa Piala Dunia 2026 bisa dianggap “tak menarik” jika Indonesia ikut serta, baik dari segi kualitas permainan, kompetisi, komersialisasi, hingga aspek moralitas dan tanggung jawab olahraga itu sendiri.
Perluasan Kuota dan Dampaknya pada Kualitas Kompetisi
- Kuota Berlebih dan Potensi Penurunan Kualitas
Salah satu kritik utama terhadap Piala Dunia 2026 adalah keputusan FIFA untuk memperluas jumlah peserta dari 32 menjadi 48 tim. Perluasan ini memang membuka peluang bagi negara-negara seperti Indonesia untuk lolos, tetapi juga membawa risiko utama: penurunan kualitas kompetisi.
Jika Indonesia berhasil lolos bukan karena performa luar biasa di Asia, melainkan hanya karena slot Asia diperbesar menjadi 8,5, maka ini berpotensi menghadirkan tim-tim yang jauh di bawah standar kompetitif turnamen. Indonesia saat ini bahkan belum pernah tampil di Piala Dunia senior dan dalam beberapa dekade terakhir masih tertatih-tatih di level Asia Tenggara.
Piala Dunia adalah panggung terbaik. Masuknya tim-tim yang kualitasnya jauh di bawah rata-rata akan membuat fase grup terasa timpang dan mudah ditebak. Tim-tim besar seperti Brasil, Prancis, Jerman, atau Argentina akan menghadapi pertandingan mudah, mencetak banyak gol tanpa perlawanan berarti. Pertandingan semacam itu tidak menarik bagi penggemar sepak bola netral yang menginginkan tontonan kompetitif.
- Ancaman Skor Telak dan Momen Memalukan
Ketika tim yang belum matang masuk ke Piala Dunia, potensi munculnya skor memalukan sangat besar. Kita sudah menyaksikan skor besar di masa lalu — seperti kekalahan 0-7 Arab Saudi dari Jerman di 2002 atau 1-8 Honduras dari Prancis di laga persahabatan.
Bayangkan jika Indonesia, yang secara infrastruktur, mentalitas, dan kualitas pemain masih di bawah negara-negara tersebut, harus berhadapan dengan kekuatan utama dunia.
Alih-alih menambah daya tarik, pertandingan seperti itu akan menjadi “hiburan murahan”, di mana publik tidak lagi melihat sebuah laga kompetitif, melainkan tontonan cacat yang mempermalukan salah satu peserta.
Komersialisasi dan Daya Tarik Global
- Rating Penonton Tidak Bergantung pada Kuantitas Tim
FIFA berdalih bahwa perluasan slot akan meningkatkan daya tarik global karena lebih banyak negara terwakili. Namun, dalam konteks Indonesia, ini adalah asumsi yang lemah. Memang, antusiasme publik Indonesia sangat tinggi dalam urusan sepak bola. Namun, apakah kehadiran Indonesia akan menaikkan daya tarik global?
Secara objektif, dunia menonton Piala Dunia bukan karena ingin melihat Indonesia bertanding, melainkan untuk menyaksikan permainan kelas dunia, duel taktik, dan drama antara negara-negara dengan tradisi kuat. Masuknya Indonesia tidak akan membuat penggemar netral di Amerika Selatan, Afrika, atau Eropa lebih tertarik menonton.
Faktanya, jika Indonesia tampil buruk atau menjadi bulan-bulanan tim besar, citra turnamen itu sendiri akan tercoreng. Piala Dunia akan terlihat seperti ajang formalitas, bukan lagi puncak kompetisi olahraga.
- Potensi Monopoli Media Lokal
Kehadiran Indonesia di Piala Dunia juga berisiko membuat penyiaran dan pemberitaan di dalam negeri menjadi bias dan hiper-nasionalistik. Alih-alih mengapresiasi kualitas sepak bola global, media akan didominasi oleh narasi lokal yang menutup mata terhadap realitas kompetisi. Akibatnya, masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk memahami bagaimana sepak bola dunia sebenarnya berkembang.
Ketidakmatangan Ekosistem Sepak Bola Indonesia
- Infrastruktur yang Tertinggal
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi banyak masalah mendasar dalam infrastruktur olahraga, khususnya sepak bola. Stadion-stadion tidak memenuhi standar FIFA, kompetisi domestik sering dihantui kerusuhan suporter, dualisme liga, hingga skandal korupsi di federasi.
Piala Dunia seharusnya menjadi panggung untuk negara yang telah membangun sistem sepak bola berkelanjutan, bukan negara yang masih berkutat dengan masalah internal yang tak kunjung selesai.
- Mentalitas Pemain dan Kualitas Teknis
Sepak bola Indonesia juga masih terkendala dalam hal teknik dasar, mental bertanding, dan manajemen pemain. Terlalu sering kita menyaksikan bagaimana pemain Indonesia mudah terpancing emosi, kehilangan fokus di saat genting, dan tidak mampu menjaga konsistensi performa.
Di level Asia Tenggara saja, Indonesia belum menjadi dominator mutlak. Maka, tampil di Piala Dunia saat sistem domestik masih semrawut hanya akan mempermalukan nama negara di panggung internasional.
Aspek Moral dan Filosofis
- Filosofi Kompetisi: Yang Terbaik Melawan Yang Terbaik
Piala Dunia tidak hanya sekadar pesta olahraga, tetapi juga perayaan kualitas, kerja keras, dan perjalanan panjang untuk menjadi yang terbaik. Ketika slot diperluas dan negara seperti Indonesia lolos “hanya karena kuota”, nilai sportivitas kompetisi itu sendiri dipertanyakan.
Apakah kita masih bisa menyebutnya sebagai ajang “yang terbaik melawan yang terbaik” jika banyak tim lolos karena faktor teknis, bukan kualitas?
- Potensi Efek Negatif bagi Generasi Muda
Keikutsertaan Indonesia di Piala Dunia bisa menciptakan persepsi keliru di kalangan masyarakat dan generasi muda. Mereka mungkin berpikir bahwa lolos ke Piala Dunia adalah hasil dari keberuntungan atau “jatah kuota”, bukan hasil kerja keras dan pembenahan sistemik. Hal ini bisa menurunkan standar mimpi dan etos kerja dalam jangka panjang.
Alternatif Positif
Penting untuk dicatat bahwa argumen ini tidak bermaksud merendahkan Indonesia atau menganggap negara ini tidak layak maju. Kritik ini justru bisa menjadi cambuk introspeksi. Jika Indonesia ingin tampil di Piala Dunia dengan cara yang bermartabat, ada beberapa langkah yang lebih ideal:
-
Revolusi sepak bola usia dini melalui akademi dan infrastruktur.
-
Pembenahan sistem liga domestik agar lebih profesional, aman, dan kompetitif.
-
Peningkatan kualitas pelatih dan SDM sepak bola.
-
Menargetkan prestasi di level Asia sebelum berbicara soal dunia.
Dengan demikian, ketika suatu saat Indonesia tampil di Piala Dunia, keikutsertaannya tidak akan dipandang sebelah mata, melainkan sebagai hasil dari perjalanan panjang dan kerja keras seluruh ekosistem sepak bola nasional.
Kesimpulan Akhir
Gagasan bahwa Piala Dunia 2026 akan menjadi “tak menarik” jika Indonesia ikut serta bukan semata-mata didasarkan pada sentimen pesimis atau anti-nasionalisme, melainkan pada analisis objektif terhadap realitas sepak bola Indonesia saat ini dan esensi kompetisi itu sendiri.
Piala Dunia adalah panggung tertinggi yang seharusnya dihuni oleh negara-negara yang telah menempa diri dalam kualitas, mentalitas, dan sistem sepak bola berstandar dunia.
Jika Indonesia masuk karena slot diperbesar, tanpa didukung kesiapan infrastruktur, kualitas pemain, dan ekosistem yang sehat, maka keikutsertaannya justru akan merusak daya tarik kompetisi. Lebih dari itu, ini juga akan memberikan pesan keliru kepada publik bahwa pencapaian besar bisa diraih tanpa kerja keras dan pembenahan mendasar.
Namun, jika momen ini dijadikan sebagai motivasi untuk membenahi segala aspek sepak bola nasional, bukan tidak mungkin di masa depan Indonesia akan tampil di Piala Dunia bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai pesaing yang disegani.